01 Januari 2010

Potensi Pengembangan Usaha Tepung Ubi Jalar Terbuka Lebar

ANDA penggemar ubi jalar? Umbi tanaman merambat yang terasa manis dan gurih ini memang enak dijadikan makanan, misalnya ubi goreng atau getuk. Lantaran rasanya yang enak dan penggemarnya banyak itulah, ubi jalar memiliki peluang bisnis yang potensial.



Bisnis ubi jalar kini tak sebatas menjual umbinya dalam bentuk mentah atau mengolahnya menjadi aneka panganan. Belakangan, mulai banyak orang mengolah ubi jalar menjadi tepung. Memang di dunia ada tren peralihan orang dari konsumsi tepung terigu ke tepung ubi jalar. Di beberapa negara, seperti Jepang, Korea dan Amerika, popularitas tepung ubi jalar melebihi tepung terigu. Di Jepang, misalnya, harga tepung ubi jalar empat kali lebih mahal dari tepung terigu. Maklum, ketela rambat memiliki kandungan gizi tinggi. Salah satunya, "Ubi jalar mengandung beta karotin, baik untuk pencernaan," tutur Darmingsih Rustiaji, Direktur Pemasaran PT Cakrawala Optimus Explorer, produsen tepung ubi jalar. Di Indonesia, penggunaan tepung ubi jalar memang belum sebanyak di luar negeri. Tapi kondisi ini justru menjadi peluang bagi para pemain baru. Sebab pasar yang bisa dikembangkan masih besar. Potensi itulah, ujar Darmingsih yang membuat perusahaannya masuk ke bisnis ini. Saat ini Cakrawala mampu menjual 2 ton - 3 ton tepung ubi jalar per bulan. Bahkan, Cakrawala sudah mulai memasarkan produknya ke Singapura dan Brunei. Sejauh ini tepung ubi jalar banyak digunakan rumah tangga dan pengusaha kecil dan menengah. Mereka menggunakannya sebagai bahan baku kue dan mie. Menurut Muhammad Asaf, produsen tepung ubi jalar asal Makasar, produsen mie lebih suka menggunakan tepung ubi jalar karena teksturnya lebih elastis dibandingkan tepung terigu. Selain pasarnya yang bisa meluas, bisnis tepung ubi jalar ini menarik karena pasokan bakunya melimpah. Asal tahu saja, Indonesia termasuk lima besar negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia, dengan produksi 2 juta ton per tahun. Asaf mencontohkan melimpahnya pasokan di Makasar. Di Kabupaten Maros, misalnya, rata-rata hasil panen ubi jalar mencapai 40 ton per hektare. Asaf memperkirakan, di Maros saja luas lahan yang bisa ditanami ubi jalar setidaknya 300 hektare. Dengan asumsi lahan seluas itu dan panen setiap tiga bulan sekali, maka potensi produksi ubi jalar di Maros saja sudah mencapai 48.000 ton per tahun. Padahal permintaan ubi jalar di industri dan rumah tangga di Makasar saat ini cuma sekitar 2.400 ton per tahun. Dengan potensi produksi yang melimpah, harga tepung ubi jalar bisa lebih stabil ketimbang harga tepung terigu yang fluktuatif mengikuti harga gandum. Cakrawala, misalnya, menjual tepung ubi jalarnya denngan harga Rp 6.000 per kilogram (kg). Bandingkan dengan harga tepung terigu yang fluktuatif antara Rp 5.200 sampai Rp 11.000 per kg. Moncongloi, perusahaan tepung ubi jalar milik Asaf, mematok harga lebih murah, yakni hanya Rp 3.500 per kg. "Bahan baku saya ambil dari petani dengan harga Rp 2.800 per kg," beber Asaf. Dus, Asaf mengantongi margin 10%. Dalam sebulan, ia bisa menjual 20 ton tepung ubi jalar. Hanya saja, para produsen mengaku, pengembangan pasar di dalam negeri masih sulit. Pasalnya, masyarakat kita belum terbiasa menggunakan tepung ubi jalar. Kebanyakan masyarakat masih lebih suka memakai tepung terigu. Karena itu, para produsen meminta Pemerintah juga terlibat aktif dalam mempromosikan tepung ubi jalar. "Sayang belum ada edukasi dari Pemerintah akan manfaat tepung ubi jalar, padahal kandungan gizinya lebih tinggi ketimbang terigu," kata Asaf.

Tidak ada komentar: